3 Cara Menumbuhkan Budaya Literasi di Sekolah dengan Hal-hal yang Sederhana Saja

Budaya Literasi di Sekolah


Untuk menumbuhkan budaya literasi di sekolah bukan hanya perlu kesadaran dari para peserta didik saja, tetapi peran guru dan lingkungan sekolah seharusnya ikut andil dalam menumbuhkannya.

Hal ini sudah pernah saya singgung dalam tulisan 5 cara menumbuhkan literasi musik pada perserta didik melalui peran guru di sekolah. Di tulisan itu, saya mengimbau, seharusnya ada kerja sama antara guru dengan siswa-siswinya. Sehingga, budaya literasi di sekolah dapat tumbuh dan berkembang.

Menumbuhkan budaya literasi di sekolah tak perlu memikirkan jauh-jauh seperti minta difasilitasi buku dengan banyak. Dan tak perlu fokus pada kegiatan membaca dan menulis saja. Sebab, pada dasarnya, literasi itu luas. Dan bisa dimulai dari hal-hal sederhana.

Di tulisan ini, saya mengajak kepada peserta didik, guru, dan semua orang yang berada di lingkungan sekolah untuk menumbuhkan budaya literasi dari hal-hal yang mungkin selama ini tidak kalian sadari.

Dan saya yakin, jika tulisan ini diaplikasikan dengan baik, seenggaknya budaya literasi itu terlihat "ada". Tinggal dikemas dengan baik. Dengan cara, konsisten dan eksis terus.

Berikut 3 cara yang saya suguhkan kepada pembaca mengenai apa saja yang harus dilakukan sekolah untuk menumbuhkan budaya literasi di lingkungan pendidikannya.

Aktif mengelola akun Instagram sekolah, dan juga organisasi siswa yang ada di dalam sekolah

Cara pertama ini masuk kepada literasi digital. Di mana literasi digital itu sederhananya adalah memberikan informasi tentang semua kegiatan sekolah lewat digital, salah satunya Instagram.

Masih banyak saya temui, akun-akun sekolah yang sudah lama tidak aktif. Mungkin akun Instagram sekolah dikelola oleh guru? Dan saya berpikir positif saja, guru sangat sibuk. Mana mungkin membagi waktu untuk mengelola akun Instagram sekolahnya?

Akan tetapi, ada baiknya akun sekolah dikelola juga oleh siswa. Biasanya siswa paham betul feed yang rapi. Bikin banner yang bagus. Dan kalau saya perhatikan, banyak akun sekolah yang kalah eksis daripada akun OSIS misalnya.

Tapi, sialnya, akun Instagram OSIS tidak bebas posting sesuatu. Ada pihak sekolah yang membatasi jangan bikin ini-itu.

Sedari dulu, saya paling jengkel terhadap pihak sekolah yang membatasi kreativitas siswa. Dan ini tentu menjadi salah satu faktor di mana literasi sekolah tidak akan bisa tumbuh dan berkembang. Sebab, pihak sekolahnya saja masih mengekang siswa-siswinya.

Barangkali banyak alumni sekolah yang ingin melihat kegiatan sekolahnya saat ini. Namun, mana mungkin para alumni bisa memperhatikan perkembangan sekolahnya kalau literasi digital eks sekolahnya tidak aktif?

Maka dari itu, cara pertama untuk menumbuhkan budaya literasi di sekolah adalah mengaktifkan akun Instagram sekolah dan juga organisasi siswa yang ada di dalamnya.

Sekarang, teknologi sudah berkembang pesat. Apa-apa buka ponsel. Semua kegiatan sekolah bisa diakses dengan mudah lewat media sosial. Tapi, literasi digitalnya kok masih cuek-ceuk saja? Gimana sekolah bisa berkembang?

Ada keuntungan ketika aktif melalui literasi digital. Salah satunya mendapatkan fee atau endorsment dari kampus yang ingin promosi misalnya. Dan nanti bisa kerja sama dengan mahasiswa yang giat berliterasi.

Saya pernah menulis tentang cara membuat komunitas literasi di kampus. Dan tulisan ini sudah dibaca banyak orang. Sekolah dan kampus bisa bekerja sama nantinya. Melalui literasi digital misalnya.

Membuat blog atau website yang juga harus aktif, entah untuk menulis atau informasi sekolah

Saya sudah melakukan riset yang boleh dibilang cukup mendalam mengenai cara kedua untuk menumbuhkan budaya literasi di sekolah ini.

Hasilnya, sedikit saja sekolah yang aktif menulis dan membeberkan kegiatan sekolah di dalam website pribadinya. Artinya, sama-sama tidak aktif seperti di Instagram tadi.

Kalau masalahnya ada di guru karena sedikit guru yang suka menulis, lantas apa salahnya guru Bahasa Indonesia misalnya mulai belajar menulis. Dan mengajak siswa-siswinya bikin blog. Bikin blog gratis kok.

Barangkali pihak sekolah sudah tahu bahwa dengan adanya website, manfaatnya bisa digunakan untuk pendaftaran siswa melalui online.

Akan tetapi, ada baiknya postingan kegiatan diunggah di website. Sebab, nanti, ada ketertarikan lebih dari calon siswa.

"Wah, kegiatan sekolahnya seru ya!" batin siswa.

Sudah paham kah maksud saya?

Mengajak siswa belajar public speaking

Apa hubungannya siswa belajar public speaking dengan budaya literasi di sekolah?

Tentu ada hubungannya.

Orang yang saat ini sering menjadi moderator kadang tidak bisa membedakan tampil sebagai moderator acara literasi dengan moderator pada umumnya.

Dua tulisan saya mengenai 6 saran untuk moderator acara literasi dan 3 persiapan moderator acara literasi yang harus dilakukan tampil di halaman pertama Google. Keduanya, berada di posisi satu dan dua.

Ini membuktikan bahwa masih banyak orang yang ingin tahu, gimana sih jadi moderator acara literasi yang bener?

Mereka mencari tahu hal itu karena di sekolahnya (dulu) hanya tampil sebagai MC acara pensi, kebudayaan, dan lain-lain. Sedangkan sekolah melupakan tata cara sebagai moderator acara literasi yang sifatnya santai.

Simplenya, belajar public speaking tentu masuk ke dalam budaya literasi sekolah.

Sebagai penggiat literasi, saya memasukkan belajar public speaking ke dalam literasi media. Tujuan belajar public speaking yaitu dalam rangka memberikan pemahaman mengenai literasi media dan mendorong kemampuan siswa atau peserta didik dalam bidang penyiaran.

Literasi media tentu berpengaruh terhadap pelatihan kecemasan ketika berbicara di depan umum.

Nah, sudah adakah sekolah yang kepikiran untuk menumbuhkan budaya literasi dengan cara mengajak siswa belajar public speaking? Sehingga, literasi digital dan literasi media saling berkaitan untuk mengembangkan budaya literasi di sekolah.

Mungkin literasi media akan saya kembangkan di lain waktu di website penulis Garut ini.

Jadi, ada 3 cara untuk menumbuhkan budaya literasi di sekolah. Pertama, mengaktifkan literasi digital dengan eksis terus di Instagram.

Masih literasi digital juga, kedua: siswa ditugaskan membuat blog pribadi.

Ketiga, mengajak siswa belajar public speaking (literasi media).

Artikel Selanjutnya Postingan Selanjutnya
Tidak Ada Komentar
Tambahkan Komentar
comment url